Apa yang kita mau? Lapangan perjuangan, ataukah lapangan
kehidupan? Banyak orang mengejar kehidupan, dan mereka berkata, “Bagaimana kita
hidup, sedangkan mencari sesuap nasi saja belum bisa. Mau berjuang, apa yang
akan dijadikan untuk berjuang?” Ini salah. Ada sebuah Hadits Qudsi menerangkan,
bahwa Allah berkata kepada hamba-Nya: “Wahai hamba- Ku, mengapa engkau tidak
memberi-Ku makan, sedangkan Aku memberimu makan?” Hamba itu menjawab,
“Bagaimana aku memberi-Mu makan, sedangkan Engkau Rabbul ‘alamin?” Allah
menjawab: “Bukan itu. Kamu memberi makan orang-orang yang tak bisa makan, itu
berarti kamu telah memberi-Ku makan.”
Allah bertanya kembali, “Mengapa kamu
tidak mendoakan-Ku, sedangkan Aku selalu mendoakanmu?” Hamba itu menjawab, “Ya
Allah, Engkau Maha segalanya, bagaimana aku mendoakan-Mu? Apa arti doaku
bagi-Mu?” Allah menimpali, “Kamu mendoakan orang-orang yang perlu kamu doakan,
itu berarti kamu telah berdoa untuk-Ku.”
Maka dari itu, mari bertasbih ketika kita mendapat
kemenangan dan pertolongan dari Allah: Hadza min fadhli Rabbi liyabluwani
a’asykuru am akfuru. [Ini adalah dari karunia Rabb-ku untuk mengujiku,
apakah aku bersyukur atau kufur terhadap nikmat-Nya. Kalimat ini diucapkan Nabi
Sulaiman atas segala kemegahan nikmat duniawi yang dilimpahkan kepadanya
–pen.]. Disinilah letak keharusan kita untuk bersyukur atas segala nikmat Allah.
Karena itu berarti kita bersyukur untuk diri kita sendiri.
Kembali kepada lapangan perjuangan dan lapangan penghidupan
[nafkah –pen.]. Kalau kita bergelut dengan lapangan perjuangan, maka
lapangan perjuangan itulah yang akan menghidupi kita. Yang memberikan kita
jalan untuk penghidupan adalah lapangan perjuangan. Jangan dibalik, bahwa di
balik lapangan penghidupan kita akan ada jalan menuju lapangan perjuangan.
Mengapa? Sebab, in tanshurullah yanshurkum [jika kalian menolong (agama)
Allah, maka Dia akan menolong kalian]. Tapi kalau kita berjuang hanya demi
memperjuangkan diri sendiri, apalah arti diri kita dan perjuangan kita? Tak
akan berarti apa-apa tentunya.
Manusia, terutama generasi muda terkadang tak sabar. Ketika
melihat seseorang berhasil, kemudian dibarengi bisikan setan, ia akan segera
ingin menjadi seperti orang itu. Lalu mulai bergejolak dalam hatinya:
“Kapan…kapan?” Orang seperti ini akan mudah hancur, karena memang belum
waktunya dia memperoleh apa yang ia inginkan. Ibarat anak kecil yang belum bisa
mengendarai motor, lantas diberi motor, ia pun akan hancur.
Begitulah jika kita kerap merasa enak. Karena keenakan
itulah orang justru menemui kehancuran. Dengan keenakan, orang tidak lagi
sempat berpikir tentang lapangan perjuangan dan nasib orang lain. Yang ia
pikirkan hanya keenakan diri sendiri. Sama halnya seperti ketika kita diangkat
menjadi kiai di Sumatera atau Banyuwangi, namun kita belum kuat. Tentu kita
akan lekas hancur.
Disinilah letak keharusan kita untuk tegar dalam mengarungi
lautan kehidupan. Ketegaran dapat dimiliki dengan jalan membiasakan diri
untuk noto batin, menata hati. Kita harus latihan menata hati
sehingga hati akan tertata dan terbiasa. Karena membiasakan hati dalam
ketegaran yang prima itu, perlu. (Majalah Gontor, edisi bulan Juni 2008/Jumadil
Awal 1429 H).
Nasehat
seperti di atas sangat perlu dihayati, khususnya oleh aktivis-aktivis Islam
yang terjun dalam lapangan amal Islami. Memang, tidak semua orang terjun
membangun pesantren. Tetapi nilai-nilai spiritual yang dipegang dalam
perjuangan itu, tidak jauh berbeda.
Saya
mendengar pandangan menarik dari seorang ustadz Gontor. Kata beliau, perjuangan
kita harus mencapai tingkat mujahadah, sehingga kemudian kita layak
mendapat pertolongan. Mujahadah itu semacam totalitas pengorbanan dan
keikhlasan dalam berjuang. Jika belum mencapai maqam mujahadah, belum dekat
kepada pertolongan Allah. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Posting Komentar